Lahir saat perlombaan kekuatan angkatan
laut pasca Perang Dunia I, enam kapal penjelajah kelas Lexington berbobot 43.500
ton dibangun pada periode 1920-1921. Untuk memenuhi perjanjian Washington, 4
dibatalkan pembangunannya. 2 lambung yang sudah dibuat, dikonversi menjadi
kapal induk. Ukurannya dipengaruhi dan dibatasi oleh parameter yang tercantum
pada perjanjian tersebut.
|
Foto ini menunjukkan Lexington (CV-2) yang baru selesai dibangun, lengkap dengan meriam 203 mm dan dek terbang menyempit di haluan |
Untuk mencapai kecepatan yang diinginkan,
maka bentuk lambung harus memanjang dan langsing, masalahnya ukuran mesin uap
yang besar justru mempengaruhi proporsinya. Ide saluran cerobong asap seperti argus segera ditinggalkan, solusinya
adalah saluran-saluran itu dikumpulkan menjadi satu cerobong dan dengan tinggi
mencapai 24,4 m, cerobong itu bahkan lebih besar daripada menara pengontrol.
|
Lexington ini nyaris mirip dengan "adiknya" Saratoga. Hanya saja Saratoga akhirnya dipasangi meriam yang lebih kecil yakni 127 mm. |
Di eranya, hanggar yang dimiliki lexington
sangat besar dan luas, ditambah ruang penyimpanan di bagian dalam untuk pesawat
yang belum dirakit. Proses pembangunannya lambat dan baru selesai pada 1927.
Amerika Serikat mengikuti aplikasi hanggar tertutup penuh buatan Inggris,
pelindung sisinya memanjang mencapai dek terbang sekaligus sebagai struktur
penopang utamanya.
Kapal penjelajah pada saat itu menjadi
ancaman utama bagi kapal induk sehingga dipasang proteksi vertikal dan
horisontal termasuk memasang meriam berkaliber medium. Saat konferensi
Washington, delegasi Amerika Serikat bersikeras batasan maksimum meriam yang
diperbolehkan di kapal induk adalah meriam 203 mm. Hanya Lexington (CV-2) dan “adiknya”,
Saratoga yang pernah memasang meriam tipe
itu. Bobotnya membuat distribusi berat di kapal induk menjadi asimetris
sekaligus meragukan apakah meriam ini bisa ditembakkan melewati dek terbang. Meriam ini pada akhirnya diganti
pada 1940 dengan meriam serbaguna berpucuk 2 x 127 mm (hanya dipasang di Saratoga). Meskipun dikritik karena
berbobot 135.000 ton ini dianggap terlalu besar dan melewati batasan, kedua
kapal induk besar membuktikan kehebatannya saat perang. Operasi penerbangan
telah dibantu dengan sistem pengurangan gerakan kapal dan dek terbang lebih
kering (walaupun memiliki akselerasi sudut melintang yang lebih besar).
|
Tampak elevator di bagian depan dan deretan pelindung angin yang sedang diturunkan |
Yang terpenting pada saat kegunaan kapal
induk masih dipertanyakan, kedua kapal induk ini memiliki jumlah pesawat yang
besar untuk tugas ofensif, hal yang juga sedang dieksplorasi manfaatnya oleh
Jepang.
|
Perangko mengenang Saratoga yang diapakai sebagai "kelinci percobaan" saat uji coba bom atom |
Pada 1941 kedua kapal dimodifikasi dengan
memperlebar dek terbang di bagian depan namun karena Lexington tenggelam di
laut Koral pada Mei 1942, hanya Saratoga
yang dimodifikasi lebih lanjut. Stabilitas dan ketangguhan kapal ditingkatkan
dengan memperbesar lambung bawah dan memperpendek cerobong asap. Dengan lambung
lebih besar juga meningkatkan daya apung akibat bertambahnya berat akibat
modifikasi sekaligus menambah kapasitas bahan bakar. Lambung diperbesar
asimetris ini sekaligus mengoreksi titik keseimbangan kapal akibat adanya
menara pengontrol. Hasil dari modifikasi ini membuat kapal kehilangan kecepatan
sampai seperempatnya.
|
Spesifikasi Lexington |
Sudah habis masa pakainya dan ketinggalan
jaman kapal ini hancur pada 1946 saat uji coba bom atom di Bikini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar