Selasa, 05 Januari 2016

LEXINGTON (CV-2) CLASS

Lahir saat perlombaan kekuatan angkatan laut pasca Perang Dunia I, enam kapal penjelajah kelas Lexington berbobot 43.500 ton dibangun pada periode 1920-1921. Untuk memenuhi perjanjian Washington, 4 dibatalkan pembangunannya. 2 lambung yang sudah dibuat, dikonversi menjadi kapal induk. Ukurannya dipengaruhi dan dibatasi oleh parameter yang tercantum pada perjanjian tersebut.

Foto ini menunjukkan Lexington (CV-2) yang baru selesai dibangun, lengkap dengan meriam 203 mm dan dek terbang menyempit di haluan



Untuk mencapai kecepatan yang diinginkan, maka bentuk lambung harus memanjang dan langsing, masalahnya ukuran mesin uap yang besar justru mempengaruhi proporsinya. Ide saluran cerobong asap seperti argus segera ditinggalkan, solusinya adalah saluran-saluran itu dikumpulkan menjadi satu cerobong dan dengan tinggi mencapai 24,4 m, cerobong itu bahkan lebih besar daripada menara pengontrol.
Lexington  ini nyaris mirip dengan "adiknya" Saratoga. Hanya saja Saratoga akhirnya dipasangi meriam yang lebih kecil yakni 127 mm.
Di eranya, hanggar yang dimiliki lexington sangat besar dan luas, ditambah ruang penyimpanan di bagian dalam untuk pesawat yang belum dirakit. Proses pembangunannya lambat dan baru selesai pada 1927. Amerika Serikat mengikuti aplikasi hanggar tertutup penuh buatan Inggris, pelindung sisinya memanjang mencapai dek terbang sekaligus sebagai struktur penopang utamanya.
Kapal penjelajah pada saat itu menjadi ancaman utama bagi kapal induk sehingga dipasang proteksi vertikal dan horisontal termasuk memasang meriam berkaliber medium. Saat konferensi Washington, delegasi Amerika Serikat bersikeras batasan maksimum meriam yang diperbolehkan di kapal induk adalah meriam 203 mm. Hanya Lexington (CV-2) dan “adiknya”, Saratoga yang pernah memasang meriam tipe itu. Bobotnya membuat distribusi berat di kapal induk menjadi asimetris sekaligus meragukan apakah meriam ini bisa ditembakkan melewati  dek terbang. Meriam ini pada akhirnya diganti pada 1940 dengan meriam serbaguna berpucuk 2 x 127 mm (hanya dipasang di Saratoga). Meskipun dikritik karena berbobot 135.000 ton ini dianggap terlalu besar dan melewati batasan, kedua kapal induk besar membuktikan kehebatannya saat perang. Operasi penerbangan telah dibantu dengan sistem pengurangan gerakan kapal dan dek terbang lebih kering (walaupun memiliki akselerasi sudut melintang yang lebih besar).

Tampak elevator di bagian depan dan deretan pelindung angin yang sedang diturunkan
Yang terpenting pada saat kegunaan kapal induk masih dipertanyakan, kedua kapal induk ini memiliki jumlah pesawat yang besar untuk tugas ofensif, hal yang juga sedang dieksplorasi manfaatnya oleh Jepang.

Perangko mengenang Saratoga yang diapakai sebagai "kelinci percobaan" saat uji coba bom atom
Pada 1941 kedua kapal dimodifikasi dengan memperlebar dek terbang di bagian depan namun karena Lexington tenggelam di laut Koral pada Mei 1942, hanya Saratoga yang dimodifikasi lebih lanjut. Stabilitas dan ketangguhan kapal ditingkatkan dengan memperbesar lambung bawah dan memperpendek cerobong asap. Dengan lambung lebih besar juga meningkatkan daya apung akibat bertambahnya berat akibat modifikasi sekaligus menambah kapasitas bahan bakar. Lambung diperbesar asimetris ini sekaligus mengoreksi titik keseimbangan kapal akibat adanya menara pengontrol. Hasil dari modifikasi ini membuat kapal kehilangan kecepatan sampai seperempatnya.

Spesifikasi Lexington
Sudah habis masa pakainya dan ketinggalan jaman kapal ini hancur pada 1946 saat uji coba bom atom di Bikini.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar